Ad

Mengulas Pasal 31 UU Advokat Dihapus Mahkamah Konstitusi Putusan MK 006/PUU-II-2004

JAKARTA – Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menghapus dan memutuskan bahwa ;

Pasal 31 UUA merugikan hak konstitusional Pemohon, berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga Negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya selama lebih dari 12 (dua belas) tahun.

Rumusan pasal 31 yang berisi ancaman pidana sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional, berupa:

Pasal 31 UUPA: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

Bagian penjelasan UU PA alenia ketiga bagian Umum penjelasan menyebut: selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan.

Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa.

Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pertama, UUA tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat memperoleh bantuan hukum secara murah. Jelasnya, UUA hanya mengakui profesi Advokat yang punya otoritas di dalam pelayanan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Kedua, rumusan atau materi Pasal 31 dibuat dalam suasana euphoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common sense). Lahirnya UUA memberi pengakuan eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum.

Munculnya ketentuan Pasal 31 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya rezeki advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya. UUA ini secara sistematis berusaha mereduksi dan menihilkan peran dan eksistensi pihak- pihak di luar profesi advokat, serta memonopoli profesi.

Sungguh ironis, jika diingat profesi advokat yang mengklaim dirinya sebagai officium nobile dan tidak mengedepankan profit oriented, ternyata telah mengkhianati nilai-nilai luhur sikap profesionalisme-nya. Lebih menyedihkan, korban yang dirugikan oleh ketentuan Pasal 31, tidak lain dan tidak bukan adalah lembaga perguruan tinggi hukum yang nota bene telah mengantarkan dan memberikan kontribusi terhadap advokat menjadi sosok profesional melalui proses edukasi hukum selama ini.

Ketiga, UUA ini belum memenuhi sejumlah persyaratan ideal, layaknya sebuah peraturan undang- undang yang baik. Buktinya di dalam UUA tidak mengakomodasi prinsip pengecualian (exception) yang dianut didalam sistem hukum manapun (there is no law without exception). Sebagai komparasi di dalam sistim perundang-undangan nasional,prinsip pengecualian yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak cipta, terutama dapat dilihat pada Pasal 14, 15 dan 16. 

Penulis : Hosnews

Baca Lainya :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Postigan Populer

spot_img