BANJARMASIN – Mungkin Pak Jokowi Presiden Terbaik Indonesia?, Akan tetapi mungkinkah ada Pembantu Penyelengara Negara ini? ada yang mengamputasi dan membelokkannya?Siapa yang harus meluruskannya?
Saya bukan orang yang berbasis positif thingking, tapi sebagai orang yang berbasis objektif thingking, bermimpi Dalam jurney
Saya sudah datangi seluruh 34 Provinsi seluruh Indonesia.
Bagai fatamorgana Masyarakat pada umumnya merasakan; kemiskinan, ketidak adilan.
Serta para penyelenggara negara secara struktural kurang memiliki empati kepada rakyat, yang seharusnya dapat mewujudan tangung jawabnya mengimplementasikan UUD45 Alinea ke-4.
Dimana hal tersebut juga adalah fundamental integritas yang jadi asupan rakyat yang adalah Pemangku kedaulatan dan pembayar pajak.
Inilah konsekwesi kita dalam azas Pancasila dimana nilai luhurnya Peneyelengara negara sebagai aparatur melayani bukan dilayani!
Saya mulai Pemaknaan kata Pemerintah yg dasar kata-nya adalah Perintah (untak dilayani) hal ini membuat sadar atau tidak jadi menyimpang dari filisofis yg terkandung dalam Pancasila.
Maka dalam analisa saya Penyebab persoalan tersebut ada di hulu. Ada di koridor fundamental Penyelenggara Negara. Dan Konstitusi kita yang telah meninggalkan konsep yang didisain para pendiri bangsa. Yang telah meninggalkan Pancasila dan UUD45
Ada dua sistem ekonomi yang bisa dipilih. Mau memperkaya segelintir orang. Atau memperkaya negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sangat kontra dengan Sila ke 5.
Sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah sistem terbaik untuk Indonesia. Karena demokrasi yang berkecukupan. Lengkap. Semua elemen ada di Lembaga Tertinggi. Ada wakil parpol, ada wakil daerah, ada wakil golongan.
Akan tetapi jiwanya sektoral ego demi kepentingan…? Bukan demi kebutuhan rakyat semesta
Padahal Para pendiri bangsa sudah mengingatkan. Sistem demokrasi liberal ala barat, tidak cocok untuk Indonesia. Apalagi menjabarkan ideologi individualisme, berbasis identitas, dan ada juga liberalisme. Hal itu hanya akan memberi karpet merah bagi neoliberalisme yang berwatak kapitalis predatorik.
Jika membiarkan hal itu, artinya kita memberi ruang bagi neo kolonialisme dalam bentuk baru. kita telah mengamputasi tujuan dari lahirnya bangsa dan negara ini. Seperti tertuang dalam naskah Pembukaan Konstitusi kita.
Kesimpulan. Bahwa bangsa ini harus kembali ke Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian kita sempurnakan bersama kelemahannya. Dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95 persen isinya, dan menjadi Konstitusi baru.
Jika Tuhan berkehendak saya akan memperjuangkan dengan cara saya untuk Indonesia dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Tidak menjadi bangsa yang salah arah.
Karena itu, saya akan mensosialisasikan untuk kita luruskan kembali cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini.
Meskipun saya sadar di tengah upaya yang saya tempuh. Tiba-tiba banyak kalangan yang tidak menyalahkan dan tidak setuju, dgn menuduh saya justru mengamputasi konstitusi
Saya termehek-mehek smbil bergumam. Sebenarnya yang mengamputasi konstitusi kita Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing?
Meminjam istilah dari Profesor Kaelan dan Profesor Sofyan Effendi, “yang melakukan pembubaran terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945? Siapa sebenarnya yang melakukan kudeta terselubung terhadap NKRI?”
Siapa sebenarnya yang menghilangkan Sila Keempat dari Pancasila? Siapa sebenarnya yang meninggalkan dogma kesejahteraan sosial, sehingga Oligarki Ekonomi semakin membesar?
Siapa dan siapa sebenarnya, hingga DPA yang lahir dari kelanjutan implementasi Sumpah pemuda juga merupakan roh NKRI
Dalam buku karya Valina Singka Subekti. Judulnya “Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945”.
Setahu saya, intelektual adalah orang yang mampu melihat keganjilan-keganjilan yang tidak pada tempatnya. Untuk kemudian menawarkan solusi. Dengan tujuan meluruskan keganjilan-keganjilan tersebut.
Sehingga seorang intelektual tidak hanya berhenti melihat keganjilan saja. Karena kalau hanya melihat saja, kita akan terjebak dalam menara gading.
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia yang kaya raya akan Sumber Daya Alam tetapi rakyatnya miskin, maka kita bukan intelektual, dampaknya melacurkan diri sebagai penjual Narkoba, penjual diri dll.
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Sumber Daya Alam di Indonesia hanya dinikmati segelintir orang dan orang Asing, maka kita bukan intelektual.
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa pembangunan ternyata tidak mengentaskan kemiskinan, tetapi hanya menggusur orang miskin, maka kita bukan intelektual.
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa platform E-commerce hanya dipenuhi produk impor, sementara anak negeri hanya menjadi penjual, maka kita bukan intelektual.
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia, semakin darurat bencana sosial, akibat keserekahan dan penyimpangan penyelenggara negara, maka kita bukan intlektual yang arif, berempati dan bijaksana
Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi sudah kita tinggalkan sejak Amandemen tahun 1999 hingga 2002, karena kita telah mengganti 95 persen lebih isi dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli, maka kita bukan intelektual.
Semua paradok tersebut karena kesalahan penyelenggara negara, karena meskipun sudah
Yg bersumpah menjalankan Konstitusi dan Peraturan perundangan yang berlaku, namun tidak setiapada sumpahnya, akhir-akhir ini banyak penyelenggara negara melakukan penyalahgunaan jabatannya, sebagai cermin bagi kita
Karena memang faktanya Konstitusi kita telah berubah. Daat kita lihat Dan perubahan itu,
Dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang tidak bermuara kepada cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini.
Pekerjaan mengembalikan Negara Indonesia untuk berdaulat, mandiri, adil dan makmur memang berat.
Namun kita menyikapinya dengan berjuang secara Arif dan bijaksana bersama teman-teman yang mau dan punya rasa yg sama, faham dan intlektual,” Pungkasnya, Rabu (14/12/2022).
Penulis adalah: Pengamat kebijakan publik dan Pemangku kedaulatan Rakyat Indonesia (Pol Mar – UC) Med. Tutup Tahun Desember 2022.
