BANGKALAN-
Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk perkara korupsi selalu mengundang kontroversi, perdebatan, dan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.
Tentu saja ini sangat mengenaskan dan sekaligus, menunjukkan betapa buruknya sistem administrasi atau dokumentasi di lingkungan kejaksaan.
Melihat pola pemberian SP3 yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup, maka ada keyakinan kuat bahwa penanganan kasus tersebut dikolusi dan Nipotisme.
Mencermati beberapa pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Bangkalan, pada akhirnya kita melihat bahwa pemberian SP3 itu mengarah pada suatu pola atau kesamaan satu sama lain,” Sabtu (29/01/2022).
Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) DPD Kabupaten Bangkalan menyampaikan; Setidaknya ada 4 pola pemberian SP3 terhadap pelaku koruspi yang kerap dilakukan penegak hukum.
(1). Penerbitan SP3 dilakukan secara diam-diam dan hampir semua pemberian SP3 dilakukan secara diam-diam tanpa adanya pengumuman lebih dahulu kepada masyarakat.
Namun pola ini dinilai kurang tepat jika dikaitkan dengan adanya keharusan bagi setiap penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, khususnya asas transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN.
(2). Pengumuman SP3 diberikan apabila telah tercium oleh publik. Biasanya pihak kejaksaan akan mengumumkan secara resmi jika sudah beredar desas desus mengenai SP3 tersebut dikalangan masyarakat dan media.
(3). SP3 diberikan kepada para tersangka korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar. Tersangka korupsi ini biasanya berlatar belakang pengusaha kelas kakap yang memiliki proteksi politik dari pejabat publik atau politisi yang memiliki pengaruh besar.
(4). Pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut. Hampir setiap pemberian SP3 selalu menimbulkan respon yang luar biasa di kalangan masyarakat. Untuk meminimalisir pressure dari masyarakat, pihak kejaksaan biasanya mencari waktu yang tepat atau waktu tenang untuk menerbitkan atau mengumumkan SP3.
Idealnya sebelum menerbitkan SP3 pihak kejaksaan harus mengumumkan kepada masyarakat disertai dengan alasan atau dasar pertimbangan. Paling tidak langkah ini dapat menunjukkan adanya akuntabilitas dan tranparansi dari kejaksaan dalam melaksanakan tugas atau wewenangnya, sekaligus membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan atau data-data pendukung yang dapat menjerat tersangka korupsi.
Sebagai institusi penyelenggara negara, maka suatu keharusan bagi kejaksaan untuk mengumumkan kepada publik semua kerja yang dilaksanakan, termasuk dalam pemberian SP3,” pungkasnya. (SA/Red)