JAKARTA – Prabowo Subianto Pemenang Pemilu 2024 sedang serius menyusun komposisi kabinet. Berbagai pemberitaan media serta komentar politisi dan akademisi meramaikan bursa eligible persona yang akan duduk di kabinet. Salah satu jabatan penting dalam kabinet adalah Jaksa Agung.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 menyatakan masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh presiden dalam periode yang bersangkutan.
Pengisian jabatan Jaksa Agung menjadi krusial ketika MK memangkas jejaring pengurus parpol. Putusan MK Nomor 6/PUU-XXII/2024 menyatakan untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat termasuk syarat bukan merupakan pengurus parpol kecuali telah berhenti sebagai pengurus parpol sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung.
Jangka waktu lima tahun menjadi waktu yang cukup untuk memutus berbagai kepentingan politik dan intervensi parpol terhadap Jaksa Agung.
“Arena hukum peran Jaksa Agung. Posisi strategis Jaksa Agung dalam ranah hukum sebagai alat penegak hukum negara. Independensi diperlukan dalam pemaknaan yang jelas dan terang. Kejaksaan yang independen hanya berarti bebas intervensi (politik) untuk kasus, tetapi bukan berarti bebas pengaruh politik kabinet.
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, maka Jaksa Agung tunduk kepada politik atau kebijakan kabinet. Termasuk apabila Jaksa Agung masuk dalam kabinet setara menteri adalah kebijaksanaan politik.
“Memerlukan Dukungan Politik
Peran Jaksa Agung di arena hukum memerlukan dukungan politik dalam pelbagai kebijakan hukum dan penegakan hukum.
Sebagai contoh penerapan keadilan restoratif, peran central authority dalam menanggulangi kejahatan transnasional, pemulihan aset, dan kebijakan strategis lain yang akan dihadapi.
Selain itu Jaksa Agung juga akan terus berelasi dengan Komisi III DPR. Menjadi tidak logis apabila peran Jaksa Agung di arena hukum tidak diikuti dengan kepiawaian relasi dan komunikasi politik dalam koridor independensi.
Putusan MK membuka peluang calon Jaksa Agung berasal dari anggota parpol. Pertimbangan MK membedakan antara pengurus parpol dan anggota parpol mengisyaratkan makna simbolik masih dimungkinkan Jaksa Agung berasal dari parpol in casu anggota parpol.
Menjadi celah bagi parpol untuk tetap mengajukan anggota parpol kepada Presiden untuk diangkat sebagai Jaksa Agung. Apabila Presiden positif menerima endorse dari parpol, maka anggota parpol cukup mengundurkan diri sebelum diangkat sumpah sebagai Jaksa Agung.
Putusan MK Nomor 6/PUU-XXII/2024 menimbulkan perspektif, apakah langsung dapat dieksekusi atau menunggu amandemen UU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021.
Perspektif pertama, putusan langsung dapat dieksekusi artinya Prabowo memiliki alternatif mengangkat Jaksa Agung. Pilihan bisa berasal dari jaksa yang masih aktif berdinas, pensiunan jaksa, profesional hukum, atau murni anggota parpol.
Perspektif kedua, putusan tidak otomatis dapat dieksekusi dan harus melalui amandemen UU Nomor 11 Tahun 2021.
Apabila pilihannya untuk amandemen UU Kejaksaan, maka pemerintah dan DPR harus berjibaku menyelesaikan amandemen di parlemen sebelum Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada 20 Oktober 2024.
Sementara dari sisi DPR dipastikan kurang fokus mengingat tidak semua anggota Komisi III DPR saat ini terpilih kembali dalam Pemilu Legislatif 2024.
Penulis: Said Loebis