MOJOKERTO, Hosnews.id – Diduga minim fungsi pengawasan tata kelola pemerintah dan anggaran di sejumlah desa di kabupaten Mojokerto, membuat Hadi Purwanto lantang sebut Bupati Ikfina Fahmawati kurang paham dalam kepemimpinan.
“Pangkal utamanya itu terkait kepemimpinan, keilmuan dan ke-niatan. Bupati Mojokerto ini, dalam memimpin sekitar 299 desa dan 5 kelurahan, beliau ini kurang paham. Beliau juga tidak menguasai dan kurang niat untuk melakukan edukasi dari tahun ke tahun,” tegas Hadi, saat dikonfirmasi dikediamannya. Sabtu, (11/05/2024).
Sarjana Hukum jebolan Universitas Wijaya Putra Surabaya ini juga menyampaikan, bahwa peranan seorang kepala daerah sesungguhnya, menjadi sangat penting dalam menguasai pengawasan tata kelola pemerintahan dan anggaran. Hal ini dimaksudkan, agar masalah kompleks yang terjadi dapat mencegah tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di desa maupun daerah.
Ayah dua putri itu juga mengingatkan agar segenap pemerintahan yang punya wewenang, seyogyanya bisa mendorong warganya untuk bersama-sama mengawasi pembangunan di desa.
Dugaan kurang paham dan belum optimalnya menguasai pengawasan, menurutnya akan membuat permasalahan di tingkat desa hampir 99% nya menjadi carut marut dalam tata kelola pemerintahan dan tata kelola keuangan.
“Bupati kan membawahi satuan kerja, untuk urusan desa utamanya di DPMD, untuk pembangunan didukung oleh Kabag pembangunan dan jajarannya Sekda. Terus untuk pengawasan dan kontrol ada inspektorat,” terang pria pemerhati tata kelola pemerintahan itu.
Kalau Bupati ini memang piawai, kata Hadi, mestinya mereka tambah tahun tambah baik tata kelolanya. Maka parameter utama, kita ukur tingkat transparansinya saja.
“Parameter sederhananya, jarang desa itu saat ditanya transparansi dengan baik-baik akan menyerahkan ke rakyat nya. Desa manapun, kalau ditanya LPJ mesti ngamuk. Ini sudah edukasi yang salah,” ungkap pimpinan LBH Djawa Dwipa ini.
Lebih lanjut, kurang tersedianya akses terhadap informasi, membentuk warga tidak dapat berpartisipasi aktif sehingga pengawasan terhadap pembangunan desa menjadi minim.
“Nah, beliau ini (Bupati) yang memiliki kewenangan utama. Contohnya Bantuan Keuangan (BK) desa. Beliau yang memiliki kewenangan penuh desa mana yang dapat, termasuk juga yang menganggarkan,” tutur pria 47 tahun ini.
Keterbatasan informasi mengenai pelayanan publik, menurut Hadi, itu yang menjadi faktor utama sehingga warga sering kali tidak mendapat laporan mengenai seputar akses keterbukaan.
Ini karena apa, lanjutnya, dengan sikap tertutup itu, artinya tidak pernah melibatkan masyarakat untuk berperan, selain berperan menyampaikan pendapat, termasuk fungsi pengawasan masyarakat yang sebetulnya sudah diatur di Undang-undang.
“Dengan hitungan sekitar 7–8 kucuran dana desa, hanya desa Trawas lah yang memang bisa dilihat dan dirasakan manfaat dana desa nya. Untuk desa lainnya, masyarakat sudah paham,” jelasnya.
Oleh sebab itu, minimnya pelibatan warga akan proses pembangunan desa masih dirasakan terbatas. Namun, jika merujuk pada Undang-undang desa yang transparansi dan akuntabel, maka kepastian hukum berasas penyelenggaraan pemerintah desa itu diatur dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa dan UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
“Sudah jelas badan publik ini wajib memberikan informasi yang tidak dikecualikan kepada masyarakat. LPJ sebenarnya bentuk pertanggung jawaban pemerintah desa kepada masyarakat. Lha faktanya, masyarakat seolah-olah dilarang atau seakan-akan diancam nanti bisa dihukum, kalau memaksa. LPJ faktanya hanya bisa diketahui oleh pejabat di atasnya. Ini yang salah dari awal,” beber Hadi.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada keterangan resmi dari Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati untuk memberikan tanggapan, meski awak media telah mengkonfirmasi via pesan WhatsApp sebelumnya.
Pewarta : Agung Ch