Hakim Tunda Putusan Bupati Bangkalan Dampak Ada Transferan Rp 3,4 Miliar Ke Rekening KPK

SURABAYA – Semakin seru dan lucu soal persidangan Bupati Bangkalan Nonaktif, diketahui RUNIK SRI ASTUTI Majelis hakim Tipikor Surabaya menunda sidang pembacaan putusan terhadap terdakwah Abdul Latif Amin Imron. Hal itu dilakukan menyusul adanya transferan dana sebesar Rp 3,4 miliar ke rekening Komisi Pemberantasan Korupsi dari pengusaha rekan bisnis terdakwa.

Transferan dana miliaran rupiah itu dilaporkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Dwi kepada majelis hakim yang diketuai Darwanto dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan, Selasa (15/8/2023) di Sidoarjo. Dia mengatakan, pada 10 Agustus 2023 lalu terdapat uang masuk ke rekening KPK sebesar Rp 3,4 miliar.

Uang itu berasal dari Abdul Hafid, pengusaha besi tua yang menjadi rekan bisnis terdakwa. Abdul Hafid merupakan salah satu saksi yang dihadirkan oleh KPK dalam sidang pembuktian dakwaan. Dia dinilai mengetahui dan menerima aliran dana hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.

”Berdasarkan keterangan saksi Abdul Hafid, ada uang dari yayasan milik terdakwa Abdul Latif Imron yang digunakan untuk pembelian rumah di Surabaya. Total yang diterima Rp 3,4 miliar,” Jelas Johan Dwi.

Jaksa KPK, lanjut Johan, menduga uang yang digunakan untuk membeli rumah tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi, yakni dari fee proyek pembangunan di lingkungan Pemkab Bangkalan. Jaksa pun melaporkan penerimaan uang sebesar Rp 3,4 miliar tersebut kepada majelis hakim dengan tujuan bisa meringankan hukuman berupa pembayaran uang pengganti kerugian negara.

Namun, terdakwa Abdul Latif Amin Imron membantah uang tersebut hasil korupsi. Terdakwa mengatakan uang Rp 3,4 miliar dari Abdul Hafid merupakan uang pribadi. Uang itu diberikan kepada Abdul Hafid melalui istri Abdul Latif Imron untuk investasi usaha di bidang besi tua.

Karena terjadi perbedaan pendapat antara JPU KPK dan terdakwa, majelis hakim pun menunda penyampaian putusan hukuman terhadap terdakwa. Majelis meminta waktu untuk mempertimbangkan dengan seksama apakah uang Rp 3,4 miliar tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian negara atau milik pribadi terdakwa.

Berdasarkan keterangan saksi Abdul Hafid, ada uang dari yayasan milik terdakwa Abdul Latif Imron yang digunakan untuk pembelian rumah di Surabaya. Total yang diterima Rp 3,4 miliar.

Menanggapi penundaan tersebut, kuasa hukum terdakwa, Fahrillah, mengatakan menghormati sikap yang diambil majelis hakim. Dia mengaku tidak mengetahui secara pasti terkait dengan uang Rp 3,4 miliar tersebut.

Sebelumnya, terdakwa dituntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Kepala daerah yang menjadi terdakwa kasus suap jual beli jabatan dan gratifikasi tersebut juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 9,7 miliar.

Tidak hanya itu, Jaksa Penuntut Umum KPK juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terdakwa selama lima tahun. Pidana tambahan diberlakukan sejak menyelesaikan pidana pokok.

”Memohon kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara ini, menghukum terdakwa dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan,” ujar Jaksa Penuntut Umum KPK Zaenal Abidin, pada sidang, Selasa 14 Agustus 2023.

Kepala daerah yang menjabat pada 2018-2023 ini dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, dan Pasal 12 huruf B. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam materi tuntutan setebal lebih dari 700 halaman, jaksa KPK mengatakan, tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi terjadi saat terdakwa menjabat sebagai Bupati Bangkalan. Saat itu, Pemkab Bangkalan melakukan seleksi untuk pengisian sejumlah jabatan yang kosong.

Singkatnya, para pejabat yang terpilih menyetorkan sejumlah uang, antara lain, Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Bangkalan Salman Hidayat menyetorkan Rp 125 juta. Selain itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Bangkalan Achmad Mustaqim menyetorkan Rp 150 juta dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Wildan Yulianto menyetorkan Rp 150 juta.

Selain terlibat korupsi suap jual beli jabatan, Abdul Latif Amin Imron selama menjabat juga menerima gratifikasi dari berbagai pihak. Salah satunya, fee dari proyek pengadaan barang dan jasa, serta fee dari proyek pembangunan sejumlah fasilitas pemerintahan. Penerimaan gratifikasi itu tidak pernah dilaporkan kepada KPK.

Zaenal menambahkan, total nilai suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa mencapai Rp 9,7 miliar. Uang itu digunakan, antara lain, untuk membayar survei elektabilitas Abdul Latif Amin Imron. Ada juga yang dipakai untuk membayar utang biaya pemilihan kepala daerah.

Penulis: Korlip Jatim

Berita terkait

spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini