JAKARTA – Diam-Diam menghanyutkan terdapat dugaan ada anggaran besar masuk dewan pers, namun tak dipublikasikan. Pasalnya pada tahun 2018 Dewan Pers mendapat kucuran dana Rp 19 miliar. Kira-kira kemana saja anggaran tersebut dan tidak mungkin kucuran dana berhenti di tahun 2018.
Perlu publik ketahui Dewan Pers dibentuk karena adanya Pers berlandaskan hukum UU Pers No. 40 Tahun 1999 dengan ini, diduga insan pers hanya dijadikan alat mendapatkan anggaran negara dengan istilah Dewan Pers Sejahtera Insan Pers Menderita.
Dinilai Dewan pers sudah melenceng dari tugas pokoknya yakni lebih mementingkan Kepribadian daripada kebersamaan insan pers. Terbukti salahsatunya lebih memihak sama Kapolres Sampang yang dinilai arogansi daripada insan pers yang tidak dihargai.
Fungsi Dewan Pers dalam kegiatan pers :
(1) melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; (2) melakukan pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers; (3) menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; (4) memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan.
Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki anggaran negara yang dikucurkan kepada Dewan Pers dan jika ada temuan penyalahgunaan anggaran agar segera dieksekusi masuk deruji besi.
Sekali lagi kami mohon kepada Sudara Jaksa agung republik Indonesia untuk menyoroti anggaran negara yang dikucurkan kepada Dewan Pers dan meminta Dewan pers untuk mempublikasikan penggunaan anggaran tersebut melalui situsnya dewanpers.or.id.
Jangan Insan pers hanya dijadikan bahan penghasil uang dibalik naungan berkedok dewan pers selaku pengayom insan pers. Namun faktanya dewan pers sudah melenceng dari tugas awal dan terkesan lebih mementingkan pribadi.
Mungkin dari berbagai kisah yang dialami Insan pers bahwa kepedulian Dewan Pers sudah sirna dari ketentuan UU Pers No 40 Tahun 1999. Serta alangkah baiknya presiden membubarkannya dan mengganti dengan yang lebih baik dalam pengayoman insan pers,” Pinta Hosen.
Seperti halnya Hari Pers Nasional yang jatuh pada hari ini (9/2/2022) memang sepatutnya dirayakan semeriah mungkin oleh insan pers tanah air. Namun pertanyaannya, apakah layak HPN 2022 ini dirayakan dengan kemeriahan dan
gemerlap anggaran milyaran rupiah uang rakyat, sementara kondisi pers Indonesia masih berada di titik terendah?
Faktanya, 80 persen lebih wartawan dan perusahaan pers di Indonesia masih jauh di bawah standar kemakmuran alias hidup segan mati tak mau. Prosentase angka itu diperoleh dari data informasi yang disebut Dewan Pers sendiri bahwa ada 40 ribuan media online ‘abal-abal’ yang tersebar di seluruh Indonesia.
Lebih parah lagi, dari 34 organisasi pers yang berjasa melahirkan Dewan Pers pasca reformasi seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara sepihak tersisa 7 organisasi yang dilabel konstituen Dewan Pers. Ke 27 organisasi pers, pelaku sejarah pers Indonesia, juga secara sepihak ditendang keluar dari hak memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.
Mirisnya, 27 organisasi pers tersebut didepak setelah memberi ‘hadiah manis’ kepada Dewan Pers melalui Kesepakatan Bersama organisasi-organisasi pers pada tahun 2006 untuk memberi penguatan kepada Dewan Pers, termasuk menelorkan keputusan bersama tentang Standar Organisasi Wartawan.
Secara ‘licik’ kesepakatan dan keputusan bersama itulah yang dijadikan alat dan alasan Dewan Pers membuat seluruh produk peraturan organisasi pers tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers dengan dalih memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers.
Padahal setelah mendapat penguatan itulah Dewan Pers akhirnya benar-benar dikuatkan pemerintah dengan kucuran milyaran dana APBN dan fasilitas tenaga administrasi dari Kementrian Kominfo untuk kebutuhan staf sekretariat Dewan Pers.
Parahnya, setelah menjadi ‘super power’, Dewan Pers mendepak ke 27 organisasi pers itu dari keikursertaan memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers, termasuk usaha mengatur kehidupan pers nasional dengan dalil Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dan Standar Organisasi Perusahaan Pers.
Dewan Pers juga dengan bangga mengumumkan ke publik bahwa hanya ada 7 organisasi pers yang diakui sebagai konstituen. Dan saat ini sudah bertambah menjadi 10 organisasi konstituen.
Seiring dengan waktu berjalan, label konstituen itu pun pada tahun 2016 telah dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016 tentang Statuta Dewan Pers.
Implementasi Program dan Kebijakan Abal-Abal
Lantas apa yang dikerjakan Dewan Pers selama kurun waktu tahun 2003 sampai 2022 untuk menegakan kemerdekaan pers, meningkatkan kehidupan pers nasional, dan memfasiltasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers?
Dewan Pers hanya berkutat pada bisnis Uji Kompetensi Wartawan –UKW dan verifikasi media dengan tebaran propaganda wartawan dan media abal-abal.
Dengan cara itu Dewan Pers berhasil mencitrakan buruk puluhan ribu media itu jika tidak ikut verifikasi media. Dan ribuan wartawan yang malu disebut abal-abal terpaksa berjibaku ikut UKW berbiaya mahal demi melepas label ‘abal-abal’ versi Dewan Pers.
Padahal kenyataan yang sesungguhnya, UKW versi Dewan Pers itulah yang abal-abal. Karena Lembaga Penguji Kompetensinya tidak bersertifikat lisensi dari negara melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan asesor atau penguji kompetensinya pun ‘abal-abal’ karena tidak bersertifikat BNSP.
Di sisi pelayanan aduan sengketa pers, media dan wartawan sering dikriminalisasi karena system pelayanan aduan di Dewan Pers, maaf sangat abal-abal. Baik cara menerima aduan dan cara penyelesaian sengketa pers juga tidak professional dan tidak mencerminkan perlindungan kemerdekaan pers.
Banyak wartawan dan media dinyatakan pemberitaannya bukan karya jurnalistik karena wartawan dan Pimrednya tidak mengikuti UKW serta media teradu belum terverifikasi Dewan Pers. PPR Dewan Pers merekomendasi teradu dapat diproses hukum di luar UU Pers atau dengan kata lain dapat dikriminalisasi dengan UU ITE atau pasal pidana pencemaran nama baik.
Sangat disayangkan, cara penyelesaian sengketa pers di Dewan Pers tidak menggunakan tenaga mediator yang bersertifikat meskipun Mahkamah Agung RI sudah mewajibkan setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator.
Contoh kasus penyelesaian sengketa pers yang amburadul adalah kejadian di Gorontalo ketika Dewan Pers justeru melindungi Pelaku asusila yang mengaku sebagai korban pemberitaan media. Kejadian penggerebekan polisi di sebuah kamar kos dan menangkap basah seorang pejabat Kepala Dinas Kominfo di Kabupaten Gorontalo sedang berduaan dengan isteri orang, justeru direkomendasi Dewan Pers sebagai pelanggaran kode etik.
Peristiwa hukum operasi Justitia yang dilakukan aparat kepolisian dan diliput media, serta ada pelaku yang digrebek dan digelandang ke markas polres justeru dianggap kesalahan pemberitaan yang tidak cover both side.
Media-media yang memberitakan kejadian polisi tangkap pelaku asusila tersebut justeru diancam dan ditakut-takuti Dewan Pers dengan surat panggilan dan ancaman pidana dan denda ratusan juta rupiah jika tidak membuat permintaan maaf kepada pelaku asusila yang digrebek polisi.
Kedua pelaku asusila tersebut akhirnya lolos dari jeratan hukum. Dewan Pers justeru terkesan melindungi pelaku kejahatan dan menyudutkan media.
Selain itu, masih banyak lagi kebijakan aneh dan rancu yang dipraktekan Dewan Pers dalam rangka penyelesaian aduan. Bahkan yang paling parah adalah ketika seorang wartawan bernama Torozidu Lahia yang memberitakan kasus korupsi dinyatakan bersalah dan direkomendasi Dewan Pers untuk diproses hukum di luar UU Pers akhirnya ditahan polisi namun kemudian dibebaskan. Bupati yang ditulisnya korupsi terbukti ditangkap KPK dan divonis bersalah.
Pada tahun 2018, ada juga wartawan Muhamad Jusuf yang tewas di tahanan karena dikriminalisasi. Gara-gara rekomendasi Dewan Pers bahwa wartawannya belum UKW dan medianya belum terverifikasi sehingga diproses hukum di luar UU Pers. (Redaksi)