JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang mantan narapidana harus menunggu jeda waktu lima tahun setelah melewati masa pidana penjara dan mengumumkan mengenai latar belakang dirinya jika ingin mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 dibacakan pada Rabu (11/12/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka 65 waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya putusan ini, maka Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada selengkapnya berbunyi:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Para Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang menyebutkan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945. Sebelumnya, Pemohon mendalilkan berlakunya aturan bolehnya orang yang berstatus mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU Pilkada dengan hanya menyampaikan pengumuman kepada publik sebagaimana diatur dalam UU tersebut telah menghambat upaya dalam pemberantasan korupsi.
Menurut para pemohon, karena berlakunya pasal yang diujikan telah membuka kesempatan dan memperbolehkan orang yang sedang mantan terpidana khususnya terpidana korupsi untuk menjadi kepala daerah atau setidaknya menjadi calon kepala daerah tanpa adanya masa tunggu bagi yang bersangkutan. Akibat ketiadaan aturan pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapida kasus korupsi untuk maju lagi dalam kontestasi pemilu mengakibatkan perhelatan pemilu diikuti oleh mantan terpidana kasus korupsi. Hal ini berdampak kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana kasus korupsi memiliki peluang yang besar untuk mengulangi kembali perbuatannya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana, namun tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji. Tak sedikit mereka mengulang kembali tindak pidana yang sama—dalam hal ini, tindak pidana korupsi. Hal ini berakibat makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas.
Mendahulukan Kepentingan Masyarakat
Suhartoyo melanjutkan sepanjang berkenaan dengan syarat menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, ternyata terdapat dua kepentingan konstitusional yang keduanya berkait langsung dengan kebutuhan untuk membangun demokrasi yang sehat. Dua kepentingan tersebut, yaitu kepentingan orang-perseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan publik dijamin oleh Konstitusi dan kepentingan masyarakat secara kolektif untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas yang diharapkan mampu menjamin pemenuhan hak konstitusionalnya atas pelayanan publik yang baik serta kesejahteraan, sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi dan dilindungi oleh Konstitusi.
“Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif. Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir. Sebab, hakikatdemokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah” melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan,” urai Suhartoyo.
Oleh karena itu, lanjut Suhartoyo, ia menekankan bahwa dalam proses berdemokrasi, sebelum mendahulukan sosok yang dipilih rakyat melalui suara terbanyak, secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan terkait kualifikasi sosok yang berkompetensi. “Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy – sebagaimana sejak masa Yunani Purba telah dikhawatirkan, di antaranya oleh Polybius,” tegasnya.
Masa Tunggu 5 Tahun
Sementara terkait dalil para Pemohon mengenai masa tunggu, Mahkamah tetap berpegang pada pertimbangan hukum Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat masa tunggu haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Begitu pula mengenai lamanya tenggat waktu, Mahkamah juga tetap konsisten dengan merujuk pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Hal tersebut kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Dalam Putusan Nomor 4/PUUVII/2009, Mahkamah berpendapat dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian argumentasi Mahkamah tersebut sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang memohon masa tunggu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, konstitusionalitas norma yang mengatur persyaratan calon kepala daerah sepanjang berkenaan dengan mantan narapidana harus didasarkan pada putusan a quo dan karenanya permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Suhartoyo. (Lulu Anjarsari)