Ad

MK Putuskan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Aktivis KAKI: Ini Baru Pemilu Demokrasi Politik Transparan dan Jurdil

JAKARTA – Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Polemik Sistem Pemilu secara tertutup alias memilih partai sempat memicu jagat raya di Indonesia khususnya bagi kaum elit politik yang sedang ataupun menjadi bakal calon Legislatif, Bupati, Gubernur dan Presiden pada pemilu 2024 mendatang.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilihan umum (Pemilu). Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka. 

Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem Pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, gugatan bernomor 114/PUU-XX/2022 itu gagal menjadikan Pemilu sistem proporsional tertutup diberlakukan lagi. 

Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK pada Kamis (15/6/2023). 

Dalam pertimbangannya, MK menilai Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif. Sikap ini diambil MK setelah menimbang ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum.

UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum,” ucap hakim MK Suhartoyo. 

MK lebih mendukung sistem proporsional terbuka karena lebih mendukung iklim demokrasi di Tanah Air. Hal ini berkebalikan kalau sistem proporsional tertutup yang diterapkan. 

MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak diantaranya DPR, Presiden, KPU, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan.  “Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk sepenuhnya,” ucap Usman. 

Sebelumnya, gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta lima koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks Wamenkumham Denny Indrayana sempat menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.

Gugatan ini mendapat sorotan publik karena Denny membocorkan putusannya akan berupa proporsional tertutup. Padahal tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Lewat putusan ini, MK sekaligus membantah bocoran putusan yang pernah dilontarkan Denny Indrayana tersebut.

MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum. MK mengakui konstitusi Indonesia tak pernah mengatur jenis sistem yang dipakai dalam pelaksanaan pemilu. MK menyadari pilihan sistem pemilu itu menjadi wewenang pembentuk Undang-undang. 

Sikap tersebut diambil MK dengan merujuk sejarah penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air. MK bahkan mempertimbangkan pandangan para founding father dalam perkara Pemilu ini. 

Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, in casu pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif,” kata Hakim MK Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan putusan.

Suhartoyo menyatakan UUD 1945 hasil perubahan sebenarnya tak menentukan sistem pemilihan umum bagi legislatif. “UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum,” ujar Suhartoyo.

Tercatat, ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat yang disampaikan hakim MK yakni Arief Hidayat. Arief menawarkan opsi sistem proporsional terbuka terbatas agar diterapkan pada pemilu berikutnya. Sebab kalau digunakan pada saat ini menurutnya masih belum memadai. 

“Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029,” kata Arief dalam sidang pembacaan putusan perkara sistem Pemilu di Gedung MK pada Kamis, (15/6/2023)

Arief bersikukuh agar gugatan terkait sistem Pemilu diterima sebagian. Ia memaparkan argumentasi pemohon sebenarnya pantas dikabulkan sebagian.

“Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” ujar Arief yang juga menjabat Ketua Umum DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) masa bhakti 2021-2026.

Sementara Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) menyampaikan bahwa sistem pemilu secara Proporsional Terbuka ini lebih transparan dan Jurdil dalam artian jujur dan adil meski kenyataan tetap Terindikasi bermain di gubug pencoblosan bergendaan dengan KPPS, Ketua PPK, Komisioner KPU bahkan tidak menutup kemungkinan main mata dengan ketua KPU.

Dengan Sistem ini para bakal calon Legislatif (Bacaleg) akan lebih semangat merebut kursi kehormatan di gedung DPR dengan cara apapun asal tujuan tercapai. Namun pada pemilu 2024 mendatang tidak lepas dari Sorotan Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) di seluruh wilayah Indonesia.

Manakala terdapat temuan penyimpangan dengan peraturan KPU Pasal 434 UU Nomor 7 Tahun 2017 yakni melakukan segala cara yang pada umumnya terdapat Mony Politik atau suap menyuap yang akan merusak Marwah Demokrasi politik. Kami tak segan-segan untuk melaporkan Kepihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kepolisian maupun Kejaksaan Republik Indonesia.

Perorangan atau individu yang pada hari atau saat pemungutan suara sengaja melakukan politik uang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam pemilihan umum (Pemilu) dan terancam hukuman penjara selama 3 tahun.

Sanksi bagi orang yang melakukan politik uang dalam Pemilu 2024 tercantum dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,” demikian isi Pasal 515 UU Pemilu.

Sedangkan ancaman pidana bagi perorangan atau individu yang melakukan politik uang pada hari pemungutan suara tercantum dalam Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu.

Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,” demikian isi Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu.

Politik uang belum memiliki definisi baku. Istilah yang selama ini dikenal politik uang digunakan untuk menyatakan korupsi politik, klientelisme, hingga pembelian suara.

Politik uang merupakan upaya suap-menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa supaya preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada penyuap,” ungkap Aktivis KAKI.

Penulis: Hosnews

Baca Lainya :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Postigan Populer

spot_img