Lamongan, Hosnews.id – Aktivis anti-korupsi soroti kesalahan mendasar dalam pemahaman negara dan rakyat oleh pejabat publik yang disebut “melayani namun ingin menjadi majikan”.
JAWA TIMUR, hosnews.id —
Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang menyebut tanah terlantar akan diambil alih negara dan bahwa rakyat hanya memiliki hak pakai atas tanah, memicu gelombang kecaman keras. Salah satunya datang dari Kusnadi, aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) perwakilan Jawa Timur.
Kusnadi secara terbuka menyebut Nusron Wahid sebagai sosok yang “gagal paham” dan menuduhnya tengah melegitimasi perampasan hak rakyat melalui narasi sesat tentang status tanah di Indonesia.
“Saya tidak menyangka sekelas Menteri Nusron Wahid ternyata sebegitu tidak pahamnya atau gagal paham. Demi bisa merampok tanah rakyat, dia mengatakan bahwa rakyat hanya punya hak pakai, sementara semua tanah adalah milik negara. Ini narasi ngawur, sesat, dan membahayakan,” ujar Kusnadi dalam pernyataannya, Senin (12/8).
Pernyataan Nusron sebelumnya viral di media sosial dan menjadi bahan parodi netizen. Di tengah kritik tajam, Nusron sempat menyampaikan permohonan maaf, namun hal ini dinilai tidak cukup oleh KAKI.
Menurut Kusnadi, persoalan mendasar bukan hanya pada ucapan Nusron, melainkan pada paradigma keliru yang dianut banyak pejabat negara mengenai posisi pemerintah, rakyat, dan tanah negara.
“Dia seolah lupa bahwa tanah adalah milik rakyat. Negara hanya organisasi administrasi. Pemerintah bukan pencipta tanah, bukan pemilik rakyat. Mereka pelayan, bukan majikan. Tapi sekarang pelayan justru menginjak kepala majikan,” tegas Kusnadi.
Kusnadi menyoroti kekacauan logika yang terjadi ketika pejabat menyamakan “negara” dengan “pemerintah”, yang kemudian dijadikan dasar untuk menjustifikasi kebijakan yang merugikan rakyat.
Paradigma Keliru: Negara Bukan Pemerintah
Dalam narasinya, Kusnadi mengajak publik memahami ulang struktur dasar negara. Ia menyebut bahwa dalam terminologi filsafat politik klasik, khususnya Yunani, negara (politeia) adalah gabungan wilayah (flora) dan rakyat (demos)—bukan pemerintah.
“Kalau kita menyebut negara demokrasi, artinya kedaulatan rakyat. Kata ‘demokrasi’ berasal dari ‘demos’ (rakyat) dan ‘kratos’ (kekuasaan). Jadi kekuasaan itu di tangan rakyat, bukan pemerintah. Pemerintah itu pelayan, pekerja, asisten rumah tangga rakyat. Lantas bagaimana bisa pembantu merasa berhak atas tanah majikannya?” ujar Kusnadi geram.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa penyamaan tanah negara dengan tanah pemerintah adalah kekeliruan fatal yang bisa membuka jalan legal bagi penguasaan aset rakyat oleh negara secara sepihak.
Desak Revolusi Kesadaran dan Reformulasi Istilah
Kusnadi juga mengajak masyarakat melakukan “revolusi kesadaran politik” dengan mengubah cara pandang terhadap aparatur negara. Ia menyarankan istilah “pemerintah” diganti agar tak lagi memancing superioritas kekuasaan yang berlebihan.
“Kita sebaiknya menyebut mereka ‘pelayan’, ‘mandataris’, atau ‘pengelola administrasi’. Kalau terus disebut ‘pemerintah’, mereka akan terus merasa bisa memerintah dan mengatur rakyat seenaknya,” tegasnya.
Penutup: Kritik Tajam, Panggilan Refleksi
Kritik Kusnadi mencerminkan keresahan yang lebih luas di masyarakat atas arogansi sebagian pejabat negara. Di tengah krisis kepercayaan publik, pernyataan-pernyataan seperti yang dilontarkan Nusron Wahid dianggap semakin menjauhkan rakyat dari negara.
“Kalau pejabat tak paham dasar negara, bagaimana mereka bisa mengurusnya? Pemerintah itu dibentuk rakyat, digaji rakyat, seharusnya melayani rakyat. Bukan mengklaim tanah rakyat seenaknya,” tutup Kusnadi.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan lanjutan dari Mentri Nusron Wahid atau Kementerian ATR/BPN terkait kritikan keras dari KAKI.
Pewarta: [Swj/Gondes]
Editor: Redaksi.
