Hosnews.id – Pemberitaan sepak terjang para pejabat pemerintah dan anggota dewan yang terhormat serta pemimpin partai politik tentu menjadi sebuah fenomena tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Seakan-akan masyarakat Indonesia selalu mengikuti “sinetron” politik yang tiada kunjung habisnya.
Setiap episode saling berkaitan dan terus bersambung. Walau sering kali muncul beberapa intermeso ketika sebuah isu sudah jenuh.
Akan tetapi, sebagaimana sinetron, aktor yang bermain memiliki peran dan karakternya masing-masing.
Antara poli(tikus) dan polit(isi) sejatinya memang dua kata ini sama maknanya.
Yakni adalah panggilan untuk seorang ahli politik dan ahli bernegara yang berkecimpung dalam politik dan pemerintah.
Politisi adalah bentuk jamak dari politikus, meski dalam kamus besar Bahasa Indonesia tidak ada perbedaan di antara keduanya dan media tampaknya tidak membedakan keduanya, sehingga masyarakat tidak benar-benar mengetahui secara pasti apa perbedaan dari kedua kata tersebut.
Seorang politikus seakan-akan menjadi justifikasi bahwa memang seorang ahli politik haruslah selihai tikus dalam bergerak.
Kuat dalam lobi, bergelung dalam lumpur kotor politik, dan gesit dalam berpindah haluan.
Sungguh memang implementasi poli(tikus) sangat terasa di dalam prakter perpolitikan seperti ini.
Sungguh disayangkan jika ahli politik dan bernegara di negeri ini menggunakan paham tikus.
Sangat wajar Iwan Fals mengistilahkan “tikus-tikus berdasi” dalam lagunya yang mengkritik pemerintah agar lebih bersih.
Sangat wajar memang istilah tikus ini karena tikus sering dimajaskan secara metafora sebagai binatang yang kotor, tinggal di tempat gelap, dan mengambil makanan orang.
Kata polit(isi) tampaknya bisa lebih enak untuk didengar dan lebih positif.
Tentu kata ini juga bisa bermakna harapan bahwa partai politik memiliki kader yang “berisi” sehingga dapat menjadi ahli politik dan bernegara yang bergerak dengan konten atau ilmu.
Indonesia di masa mendatang membutuhkan sosok-sosok ahli poltik dan bernegara seperti itu yang juga dicontohkan di era sebelum kita ketika para pemikir hebat berkumpul dan memikirkan bangsa dalam panggung politik.
Natsir yang mengusung politik Islam atau Aidit dengan paham komunisnya.
Mereka berjuang dengan isi, bergerak dengan pemikiran, dan itulah yang menjadikan mereka sosok negarawan.
Pengambilan contoh Natsir dan Aidit adalah representatif dua tokoh dengan ideologi berbeda dan bertarung pemikiran di panggung politik.
Akan tetapi akrab dan santun di luar panggung politik. Mereka tidak memikirkan keuntungan pribadi.
Tetapi, memikirkan bagaimana pemikiran mereka berkembang dan bisa memajukan rakyat Indonesia dengan cara yang mereka yakini benar.
Kini Indonesia lebih banyak membutuhkan orang-orang yang berisi ketimbang tikus tikus berdasi.
Sudah saatnya semua ahli politik dan bernegara menganut prinsip content based movement. Dengan pemikiran dan ideologi para polit(isi) mensejahterakan rakyat Indonesia. Opini, Syaif Mohammad. (Redaksi)