LAMONGAN, HN. ID – Progam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di erah Presiden RI Joko Widodo, rupanya menyulut banyak kontroversi dan terkesan carut-marut dalam praktiknya di kecamatan Modo, kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Betapa tidak, program PTSL yang digaung-gaungkan Presiden Jokowi dapat membantu memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat dengan biaya ringan justru di lapangan diduga masih banyak dimanfaatkan oleh mafia oknum-oknum manusia rakus yang terlibat dalam penanganan program PTSL sebagai lahan korupsi bersama.
Hal itu diduga terjadi 13 Desa di wilayah Kecamatan Modo yang mendapat program PTSL pada tahun 2022 lalu. Diantaranya yakni, Desa Kedungwaras dengan kuota 2500., Desa Sambungrejo 1.082., Desa Sidodowo., Desa Medalem, Desa Mojorejo., Desa Sumberagung 2.535., Desa Jatipayak 2.598., Desa Pule 2.130., Desa Yungyang 1.903., Desa Kedungkerep 1.791., Desa Kedungpengaron 1.913., Desa Jegreg 3.878.,
Masalahnya, berdasarkan sumber yang dihimpun awak media ini di lapangan, di 13 Desa di wilayah Kecamatan Modo yang menjadi sasaran program PTSL tersebut dalam proses pendaftarannya, masing-masing Panitia PTSL bersama Pemdes setempat diduga memungut sejumlah dana kepada masyarakat atau pemohon PTSL sebesar Rp. 700 ribu per bidang, belum lagi ada tambahan biaya hibah dan waris.
Lebih mirisnya lagi, berdasarkan informasi dari sumber di lapangan yang enggan disebutkan namanya mengatakan, jika dana yang dipungut dari pemohon PTSL di beberapa desa tersebut digunakan untuk membayar jasa orang ke 3 atau calo inisial HM, yang diduga orang kepercayaan BPN untuk pengurusan berkas program PTSL melalui penjualan Aplikasi yang ada di Desa-desa tersebut.
“HM itu PNS yang bertugas di Kecamatan, dan semua desa yang mendapat program PTSL itu dalam pengurusannya melalui HM, dan satu pemohonya ia dapat Rp. 200 ribu untuk aplikasi, bayangkan kalau dikalikan berapa banyak nominal yang didapat,”(16/02/23).
Bukan hanya itu saja, bahkan sumber mengungkapkan jika dana tersebut selain diduga digunakan untuk membayar jasa Aplikasi calo atau HM, juga diduga untuk membayar upeti kepada pihak-pihak terkait atau yang terlibat dalam penanganan program PTSL.
“Jadi rinciannya, selain untuk HM Rp.200, juga untuk APH Rp.100 per pemohon, masing-masing Kades Rp.100, ribu untuk muspika Rp.50 ribu, dan sisanya untuk pokmas,”Ungkapnya.
Sementara HM saat dikonfirmasi mengakui jika dirinya sebagai orang ke 3 dalam pengurusan berkas PTSL yang ada di wilayah Kecamatan Modo dan juga di beberapa desa wilayah Kecamatan lain yang mendapat program PTSL.
“Sistemnya saya menawarkan pada Kades-kades di 13 desa yang mendapat program PTSL tersebut, menghendaki atau tidak ya nggak ada masalah, dan saya menawarkan dapat mengurus PTSL lebih cepat menggunakan aplikasi, jadi saya juga punya CV biro jasa, tapi tidak ada per berkas Rp. 200 ribu karena setiap berkas kebutuhan berbeda-beda jadi pembayarannya berbeda-beda,” ungkapnya.
Ketika disinggung soal dirinya tangan kanan orang BPN HM Berdalih hanya penafsiran, namun dirinya mengakui ada hubungan baik dengan BPN serta di percaya, karena terlah sukses untuk aplikasinya dan sering komunikasi terkait program PTSL yang ada di Desa-desa.
“Selain di Modo saya juga pernah mendampingi tahapan proses pendaftaran PTSL di beberapa desa di wilayah Kecamatan lain yang mendapat program PTSL, salah satunya di wilayah Kecamatan Sambeng,” pungkasnya.
Perlu diketahui secara rasio dan nalar, swadaya progam PTSL yang dibebankan kepada setiap pemohon sudah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Mentri yaitu Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa.
Dalam surat Keputusan SKB Tiga Mentri itu dengan tegas menyebutkan swadaya yang dibebankan kepada Peserta Progam PTSL sebesar Rp 150.000., berlaku untuk zona Jawa – Bali.
Memang dalam SKB Tiga Mentri itu juga menyebutkan jika swadaya sebesar Rp 150.000., dirasa masih kurang untuk menunjang kelancaran pelaksanaan Progam PTSL, pihak pelaksana kegiatan diperbolehkan meminta swadaya tambahan kepada pemohon, namun harus dengan dasar surat kesepakatan dan rincian yang masuk diakal serta batas kewajaran, dan uang yang sudah dipungut dari masyarakat wajib di laporkan kembali ke masyarakat.
Dalam hal ini dapat disimpulkan, jika potret antar kebijakan dan kepentingan oknum-oknum yang terlibat dalam penanganan PTSL diduga sudah disusun secara terstruktur dan sistematis dibalik program PTSL, dan hasilnya diduga untuk dinikmati berjamaah.
Pantas saja, selama ini banyak laporan masyarakat yang dilayangkan ke meja aparat penegak hukum terkait dugaan Pungli program PTSL aman-aman saja. Bahkan aparat penegak hukum seolah “Tulalit” dalam menindak para pelaku – pelaku yang berkecimpung dalam penanganan PTSL yang diduga tidak sesuai dengan aturan SKB 3 Mentri.
Penulis: [Gondes/Tim]