Kalau Ahli Hukum Tak Merasa Tersinggung Karena Pelanggaran Hukum Sebaiknya Dia Jadi Tukang Sapu Jalan” (Pramoedya Ananta Toer)
Hosnews.id|| Tidak ada yang baru dalam tulisan ini, semua masih sama dan dengan argumentasi yang sederhana. Penulis bukan ahli hukum seperti yang disinggung Pramoedya Ananta Toer di atas, tulisan ini hanya respon penulis sebagai akademisi hukum yang melihat ketidak wajaran Pemerintah Kabupaten Bangkalan (Pemkab) dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemangku kebijakan di tingkat daerah.
Terhitung sudah dua kali Bupati Bangkalan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak Tahun 2021. Kedua SK tersebut masing-masing dikeluarkan pada tanggal 14 April 2021 untuk penundaan Pilkades Dlambah Dajah dan tanggal 16 April 2021 untuk penundaan Pilkades Tanah Merah Laok, dan mungkin akan menyusul penundaan Pilkades di desa lainnya karena isunya masih ada desa yang belum mempunyai Panitia Pemilihan Kepala Desa (P2KD), sementara jadwal pemungutan suara tinggal menghitung hari.
Mengapa Bupati Bangkalan mengeluarkan SK hingga dua kali dengan maksud yang sama; menunda Pilkades?. Jawabannya ialah terdapat sebuah inkonsistensi TFPKD sebagai panitia di tingkat kabupaten dalam menjalankan tugasnya sebagai tim fasilitasi dalam pelaksanaan Pilkades. Inkonsistensi itu diketahui di saat Bupati mengeluarkan SK penundaan Pilkades Dlambah Dajah dan Tanah Merah Laok, TFPKD terkesan terlalu mengintervensi kewenangan P2KD sebagai penyelenggara pesta demokrasi di desa.
Keputusan BPD dan P2KD Berkekuatan Hukum
Secara aturan, P2KD bersifat independen (Pasal 32 ayat (3) UU 6/2014); tidak memihak dan keputusannya tidak diintervensi oleh kelompok manapun, termasuk lembaga pemerintah. Setiap keputusan yang keluarkan oleh P2KD mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak diperkenankan menganulir keputusan P2KD, baik TFPKD atau Bupati sekalipun. Hal itu berdasarkan asas Presumption Iustae Causa (jendelahukum.com/19/04/2021), bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dianggap mempunyai legalitas hukum selama keputusan tersebut belum dibuktikan terbalik berdasarkan putusan hakim yang berwenang.
Memang benar, dalam Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 Pasal 5 ayat (2) huruf g dan h, salah satu tugas panitia tingkat kabupaten sebagai pengawas penyelenggaraan pemilihan dan melaporkan serta membuat rekomendasi kepada Bupati/walikota, dan melakukan evaluasi dan melaporkan pelaksanaan pemilihan. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa monitoring merupakan suatu kegiatan mengamati secara seksama terhadap keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau kegiatan, dengan tujuan agar semua data masukan atau informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan tindakan selanjutnya yang diperlukan.
Terkait hal ini diperlukan perhatian lebih, bahwa pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut jangan sampai mengganggu jalannya Pilkades, misalnya dijadikan dalil untuk mengintervensi atau membatalkan keputusan P2KD, maksud monitoring tidak lepas dari pengawasan jalannya pemilihan atau evaluasi setelah pelaksanaan pemilihan. Setelah data hasil monitoring dan evaluasi dianalisis kemudian dijadikan landasan penetapan kebijakan untuk pelaksanaan Pilkades berikutnya supaya masalah-masalah yang terjadi tidak terulang kembali. Hasil analisis tersebut bisa saja nantinya dituangkan ke dalam Perbup sebagai penyempurna dari aturan sebelumnya.
Seandainya pengambilan keputusan untuk tindakan selanjutnya atau evaluasi yang dimaksud dalam pasal di atas dilakukan di tengah tahapan proses Pilkades, maka di manakah kepastian hukum bagi setiap keputusan yang diambil oleh P2KD?
Tidak Berwenang Menafsirkan Hukum
Inkonsistensi kedua dalam pandangan penulis, terdapat pernyataan TFPKD dalam laporan monitoring ke Bupati yang bernomor 11/TFPKD/IV/2021, bahwa pembentukan P2KD oleh BPD Tanah Merah Laok cacat hukum. Dalam hal ini, TFPKD sudah tidak konsisten dengan fungsinya sebagai tim fasilitasi dengan melakukan penafsiran hukum yang sebenarnya hal tersebut adalah kewenangan lembaga peradilan. TFPKD hanya badan yang bersifat ad hoc (sementara), bukan lembaga atau badan yang mempunyai kewenangan yudisial yang dapat menyatakan suatu keputusan cacat hukum ataupun melanggar hukum.
Hal yang sama dilakukan oleh Bupati dalam surat keputusannya menunda Pilkades Dlambah Dajah, Bupati menyatakan bahwa P2KD Dlambah Dajah melakukan pelanggaran hukum dalam proses penetapan calon kepala desa. Tindakan yang dilakukan Bupati Bangkalan tersebut tidak sesuai rule of law dan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam ketatanegaraan (Budiardjo, 150: 2002), bahwa Bupati adalah cabang kekuasaan eksekutif yang sama sekali tidak mempunyai kewenangan menyatakan pelanggaran hukum atau penafsiran hukum yang mana keduanya adalah kewenangan lembaga peradilan.
Jalur Hukum Sebagai Solusi
Apabila memang disinyalir terdapat pelanggaran hukum dalam keputusan BPD atau P2KD, maka hendaknya ditempuh melalui jalur hukum untuk membuktikan pelanggaran hukum tersebut dengan melayangkan gugatan ke PTUN oleh pihak yang merasa dirugikan kepentingannya.
Sebagai contoh, gugatan atas keputusan P2KD pernah dilakukan oleh beberapa calon kepala desa Majanggut Kecamatan Kerajaan Kabupaten Pakpak Bharat ke PTUN Medan yang akhirnya dimenangkan penggugat dengan Putusan bernomor 129/G/2018/PTUN-MDN, karena hakim membuktikan keputusan P2KD melanggar hukum dikarenakan tidak meloloskan beberapa bakal calon kepala desa.
Sebagai pemangku kebijakan, hendaknya pemerintah Bangkalan mendorong terciptanya budaya hukum yang baik (legal culture), semua tindakan yang diambil hendaknya didasarkan kepada rule of law; menjadikan hukum sebagai panduan utama dalam mengambil kebijakan, bukanlah keputusan-keputusan secara individual para pejabat-pejabatnya, hal itu untuk menepis tuduhan publik bahwa Pemkab Bangkalan tidak berpihak kepada rakyat.
(Red)