SAMPANG, HOSNEWS.ID – Dalam rangka mengenang tragedi 30 Septemmber IPNU dan IPPNU Kecamatan Robatal mengadakan nobar film G30s PKI, yang di gelar di Pendopo Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Ju’mat (30/09/2022)
Yang menarik sebelum pemutaran film di awali diadakan ngaji kebangsaan, tampil sebagai narasumber alumni IPNU Tahun 1989 H. Zahry Sutiono yang akrab di panggil Jarot, kini beliau sedang menjabat Suriah Ranting NU Torjunan.
Dalam pemaparannya Jarot menjelaskan bahwa setelah usainya perang dunia II ada pertarungan dua idiologi yang dikembangkan oleh negara adidaya yaitu Sosialis Komunis (marxisme) yang berpusat di Unisoviet dan libralisme, Sedangkan yang menganut ekonomi kapitalis berpusat di Amirika Serikat, sementara Indonesia menganut ediologi Ajaran Islam yang berakulturasi dengan budaya nusantara yang ahirnya dinamai Pancasila.
“Makanya sekalipun Indonesia bukan negara yang berdasarkan Islam tapi sifat dan karakter masarakatnya sangat islami, bagitu juga aturan hukum yang ada hampir tidak ada yang bertentangan dengan ajaran islam,” ujarnya
“Makanya menurutnya (Jarot) kedua ideologi tersebut tidak cocok ada di Indonesia, namun komonisme dengan menghalalkan segala cara memaksa masuk ke Indonesia yang ahirnya bermuara pada pembrotakan madiun tahun 1948 dan G30s PKI tahun 1965,”
Lebih lanjut, Jarot yang juga mantan Wakil Ketua LAPESDAM PC NU sampang, menerangkan Sejak meletusnya pembrontakan PKI madiun tahun 48 sampai dengan G30s PKI tahun 65 perselisihan, bahkan sampai betrok fisik yang paling dominan dan sering terjadi ditingkat bawah adalah Ansor NU dengan PKI salah satu, contoh pembantaian secara licik dan keji terhadap ratusan Ansor Muncar Banyuwangi oleh PKI, dimana bisa kita lihat monomen lubang buaya di dusun cemetuk desa cluring Banyuwangi sebagai saksi bisu. Bahkan dari daerah Banyuawangi juga lahir lagu Genjer-genjer karya Moh. Arif sebagai penyemagat PKI sementara dari NU lahir Solawat Badar karya KH. Ali Mansyur sebagai penyemangat Nahdliyin dalam menghadapi PKI juga dari Banywangi.
“Pada saat meletusnya G30s PKI kekuatan politik yang seknifikan ada 3 yaitu Nasionalis (PNI), Agama (NU) Komunis (PKI) yang tergabung dalam NASAKOM, Jadi dalam arena politik hanya NU yang mampu menghadang sepak terjang PKI, maka tak heran ketika KH. Wahab Hasbullah didesak untuk hengkang dari nasakom tidak mau bahkan sampai beliau di fitnah pro PKI. Perlu dipahami bahwa dalam DPRGR maupun MPRS Hanya NU yang Dominan dari kekuatan Islam karena SI kekuatanya minim sementara Masyumi dibubarkan.
“Disisi lain Presiden Sukarno perlu dijaga dari pengaruh PKI agar tidak membuat keputusan yang menguntungkan PKI,” terangnya
ditambahkan Jarot yang juga mantan Komisioner KPU Sampang, dalam kurun waktu Oktober tahun 1965 sampai Maret 1966 kususnya di pulau jawa Ansaorlah yang menjadi penggerak utama dalam
menghantam PKI karena tentara walau beberapa perwira tingginya jadi korban keganasan G30s PKI tidak bisa berbuat banyak karena ketidak adaan payung hukum untuk melakun tindakan. Barulah pada tanggal 12 maret payung hukum itu ada yaitu Pembubaran PKI oleh Maijen Suhato selaku Pangkobkamtib yang berdasarkan Surat Perintah 11 Maret (supersemar), Hingga TNI yang didukung Aansor NU melakukan pemberantasan PKI.
“Mungkin atas dasar jasa jasa itu secara rahasia presiden Suharto menawarkan jabatan wakil presiden pada PBNU dengan satu syarat yaitu tetap mengunakan sistem DPRGR dan MPRS artinya tidak usah ada pemilu, namun NU menolak tetap menuntut dilaksanakannya pemilu karena bagi NU demokrasi merupakan salah satu syarat penting tegaknya NKRI,” pungkasnya. (AB)