Sejarah KH Fuad Amin Imron Bangkalan : KH Amin adalah sosok yang cukup berpengaruh di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Beliau merupakan tokoh politik yang pernah menjabat sebagai Bupati Bangkalan selama dua periode, serta memiliki latar belakang keluarga pesantren yang kuat. Berikut adalah sekilas tentang perjalanan hidup dan kariernya:
Latar Belakang dan Keluarga
KH Fuad Amin Imron lahir dari keluarga ulama Madura yang terpandang. Ayahnya, KH. Syaichona Cholil, adalah ulama kharismatik yang sangat dihormati di Madura. Keluarga ini dikenal memiliki pengaruh besar, tidak hanya di bidang keagamaan tetapi juga politik di kawasan tersebut.
Sebagai seorang yang tumbuh di lingkungan pesantren, KH Fuad Amin Imron memiliki dasar pendidikan agama yang kuat. Hal ini tercermin dalam gelarnya “KH” (Kiai Haji) yang menunjukkan statusnya sebagai ulama.
Karier Politik KH Fuad Amin Imron
KH Fuad Amin Imron mulai terjun ke dunia politik setelah berkiprah sebagai tokoh masyarakat dan ulama. Karier politiknya mulai menanjak ketika ia menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan sebelum akhirnya terpilih sebagai Bupati Bangkalan. Ia menjabat sebagai Bupati selama dua periode, dari 2003 hingga 2013.
Sebagai Bupati Bangkalan, KH Fuad Amin Imron dikenal sebagai pemimpin yang memiliki pengaruh besar di wilayah Madura. Ia berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah dengan dukungan besar, berkat jaringan politik dan sosial keluarganya yang kuat.
Baca Juga : Sejarah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi, Pengasuh PP. Al-Fitrah Surabaya
Kiyai Sekaligus Tokoh Blateran Madura
KH Fuad Amin Imron lahir di Bangkalan pada 1 September 1948. Ia merupakan sosok berpengaruh di Jawa Timur dan Madura serta berasal dari keluarga yang sangat terpandang, khususnya bagi kaum umat Nahdlatul Ulama (NU) atau Nahdliyin.
“Beliau [Fuad Amin] adalah cicit dari inisiator pendiri NU, Syaichona Kholil, Bangkalan. Beliau kategori inisiator NU pasti kita menghormati seluruh keluarga besar inisiator NU,” ucap Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, seperti dikutip Antara, Senin (16/9/2019).
Pengaruh Fuad Amin di Bangkalan memang sangat kuat. Ia merupakan representasi dari kalangan kiai, kaum priayi, sekaligus blater (jawara). Tiga unsur inilah yang menjadi simbol kekuatan dalam kehidupan masyarakat Madura. Dan, Fuad Amin punya semuanya.
Dikutip dari buku Menabur Kharisma Menuai Kuasa (2004) karya Abdur Rozaki, blater adalah komunitas sosial yang memiliki kebiasaan atau adat yang menunjukkan identitas sosial.
Pemaknaan blater dijelaskan dengan lebih lugas oleh A. Latief Wiyata dalam Mencari Madura (2013). Menurutnya, blater adalah jagoan desa yang secara sosial-budaya amat ditakuti oleh seluruh penduduk karena keberaniannya, termasuk melakukan carok.
Dahulu, di pedesaan Madura, lanjut A. Latief Wiyata, sudah menjadi kelaziman bahwa kepala desa selalu dipilih dari seseorang yang sudah dikenal sebagai blater.
Fuad Amin berasal dari keluarga kiai dan priyayi, namun, tulis Abdur Rozaki lewat artikel bertajuk “Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura” dalam kyotoreview.org, secara sosial ia dibesarkan oleh tradisi blater.
Posisi ini membuatnya memiliki pengaruh di dua komunitas terbesar di Madura. Usai Fuad Amin memenangkan Pilkada Kabupaten Bangkalan pada 2003, masyarakat menyebutnya sebagai kiai blater terpilih sebagai bupati.
Baca Juga : Sejarah Singkat KH Mustofa Bisri, dalam Pergerakan NU
Surutnya Politik Bangkalan Pasca Fuad Amin Imron
Secara umum, kekuatan pokok politik Bangkalan terpusat pada tiga tonggak utama Diarsipkan 2023-05-31 di Wayback Machine., yakni kiai, priyayi, dan blater. Ketiga kelompok ini yang dapat memainkan suara pemilih dalam sebuah suksesi kepemimpinan politik. Pada Fuad Amin, ketiga kekuatan tersebut menyatu.
Dengan bekal kekuatan itu pula, Fuad Amin berhasil menduduki kursi orang nomor satu di Bangkalan selama dua periode berturut-turut. Kekuatan politik Fuad Amin tidak begitu saja luntur pasca berakhirnya kekuasaannya sebagai Bupati. Ia tetap menjadi tokoh sentral yang dapat menggerakkan dan membelokkan suara massa dalam berbagai ajang suksesi.
Naiknya sang anak, Makmun ibnu Fuad, ke puncak kekuasaan di Bangkalan tak lepas dari sentuhan dan dukungan penuh Fuad Amin. Tanpa Fuad Amin, Makmun ibnu Fuad bukan siapa-siapa. Ia bukan politisi, bukan pula tokoh priyayi.
Di antara tiga kriteria di atas, paling jauh, Makmun ibnu Fuad hanya berstatus anak cucu seorang ulama karismatik Syaikhona Muhammad Kholil. Status tersebut juga tidak serta merta menjadikan Makmun ibnu Fuad memiliki kelaikan yang cukup untuk menyandang status lora (anak kiai, dalam bahasa Madura).
Terbukti, dalam beberapa pertemuan penting yang melibatkan Makmun ibu Fuad (dalam kapasitas sebagai bupati) dengan tokoh-tokoh agama di Bangkalan, ia mendapatkan cibiran karena tak fasih melafalkan salam dalam bahasa Arab.
Ketakfasihan ini kemudian mendapatkan sorotan tokoh-tokoh agama yang selama ini menaruh hormat dengan semua anak turun Syaikhona Kholil. Di antara mereka bahkan ada yang sampai mencari-cari cara untuk mengetahui latar belakang pendidikan Makmun ibnu Fuad. Wacana liar pun berhembus kencang.
KH Fuad Amin Imron turut tersudut, di mana puncaknya adalah pada pemilihan bupati untuk periode kedua Makmun ibnu Fuad. Fuad Amin yang kecewa berat tak lagi merestui sang anak untuk kembali mencalonkan diri.
Fuad Amin memilih adiknya sendiri, Lathif Amin Imron, untuk maju. Lathif Amin terpilih, sekalipun nyaris kalah melawan kerabat dan mantan sparring Fuad Amin dalam politik Bangkalan, yakni Ra Imam Buchori Kholil.
Gambaran ini menunjukkan betapa Fuad Amin berkuasa penuh selama dan pasca ia berkuasa. Gambaran ini juga menunjukkan kekuatan Amin yang mengakar pada tiga jenis jejaring di atas. Dan dengan meninggalnya Fuad Amin, politik Bangkalan akan mencari pola baru.
Jejaring-jejaring baru akan terbentuk dan pola lama yang sentralistik akan menguap bersama meninggalnya Fuad Amin. Kini, istilah nyabis (istilah ini sepadan dengan ungkapan jawa, sowan) ke Bangkalan tidak lagi populer di kalangan politisi.
Dulu, istilah nyabis sangat populer di kalangan politisi yang hendak bertarung dalam berbagai tingakatan suksesi (misalnya kepala desa, anggota legislatif dan lainnya), karena nyabis tersebut dapat memberikan garansi penuh. Fuad Amin dapat menggaransi siapa saja yang mendekat, nyabis, dan mengharapkan restunya.