BALI INDONESIA – Bila perangkat yang wajib kita beli hari ini adalah HP, pada periode 70 dan 80an, jarum, peniti dan kancing baju seperti standar barang yang harus kita punya di rumah.
Maklum, celana atau sedikit baju yang kita miliki saat itu dan robek misalnya, itu tak mungkin cepat dapat kita ganti dengan cara membelinya.
Mungkin sebagian dari anda akan senyum – senyum sendiri ketika ingat kisah itu. Tak hanya satu tambalan, berkali – kali sudah celana sekolah harus ditambal dan kadang bahkan tak lagi menyisakan tempat bagi jarum untuk mendarat.
Bila ada kesamaan, baik HP maupun jarum dan atau kancing baju, semua sama – sama buatan China. Hingga hari ini kita masih menjadi pasar bagi negara itu.
Dengan kembali ke UUD’45 semua bekerja sesuai aturan yang tanpa ada terciptanya rekayasa .
Bukan karena manusia negeri ini tak mampu membuatnya, murah harga barang produksi mereka tak mampu kita kejar apalagi lawan. Lari kita selalu kalah cepat. Kita jadi seperti enggan dan tak berminat untuk mengejarnya.
Di masa kini, bangsa pembuat jarum dan peniti di tahun 70an itu telah sampai pada titik mustahil. Bangsa dengan jumlah rakyatnya yang sangat buanyak itu telah dan sedang menuju menjadi negara super power. Bangsa itu telah berhasil mengejar ketertinggalannya dari banyak bangsa maju di dunia.
“Bagaimana dengan kita?”
Bukan untuk sekedar menghibur diri, ini tentang sistem negara kita yang memang tak mungkin berjalan dengan cara bangsa itu. Mereka sentralistik.
Mudah bagi negara itu membuat aturan dan rakyat nurut. Tidak dengan kita. Kita tak harus seperti mereka dalam alam demokrasi kita.
Dulu, aslinya, bangsa ini adalah bangsa dengan kepeduliannya yang sangat tinggi pada sesama. Kita kenal dengan budaya gotong royong. Kita pernah menjadi orang yang tak membiarkan saudara atau tetangga kita dalam kesulitan.
Dulu tangan kita selalu punya tenaga lebih, pikiran kita selalu punya ruang tersisa untuk turut dan mau peduli pada sesama.
Sejatinya, ketika kesadaran bahwa SDA kita berlimpah dan negara benar mau hadir untuk mensejahterakan rakyatnya, budaya gotong royong kita justru memiliki relevansi.
Menjadi masalah adalah ketika saat ini kita justru tersudut pada kebiasaan merasa bangga dan senang dapat memukul jatuh saudara dan tetangga kita.
Lebih rumit lagi manakala negara justru seperti abai dan tak mau hadir saat rakyat saling tikam. Dulu, itu pernah dimulai dengan hanya menggunakan narasi kebencian. Dan entah bagaimana caranya, tahu – tahu kita sudah sampai tahap mengerikan.
Fakta sebuah hal wajar tentang perbedaan agama, suku dan golongan kini dimaknai dengan tekanan MUSUH.
Dan lalu ketika kita terjebak pada saling tikam fisik, aparatur negara seperti gamang tak tahu harus berbuat apa. Dan lalu ketika banyak dari kita terjebak hingga menghina lambang negara, aparat hukum tak berani bertindak.
Ini jelas bukan tentang demokrasi. Ini tak jauh dari niat aktor di belakang layar untuk membuat chaos. Ini lawan berlebihan dari sistem sentralistik dan namun bahkan jauh lebih buruk daripada sistem itu. Kita tak boleh jatuh pada kondisi itu.
Gotong royong, sepertinya kita memang butuh dan perlu untuk pulang pada tradisi dan budaya itu. Di sana kita tak kenal apa itu perbedaan suku, ras dan agama. Yang kita tahu adalah hanya saling membantu.
Nikel menjadi baterai, mangan menjadi produk bernilai strategis dan banyak SDA kita menjadi barang berteknologi jelas butuh kehadiran manusia yang kenal apa itu makna gotong royong dan perlu disematkan dalam sistem demokrasi kita
Di sana sistem demokrasi kita justru memiliki nilai tambah yang justru akan sulit dikejar oleh kaum sentralistik di China dan bahkan oleh negara dengan sistem kapitalis seperti banyak negara maju di Eropa maupun Amerika.
Kita punya cara itu. Kita adalah bangsa yang punya sifat dan kemelekatan itu pada suatu saat dulu. Kini, kita hanya sedang dibuat lupa.
Sesekali, tengoklah saudara kita yang hidup di kampung yang jauh dari hiruk pikuk politik. Budaya itu, meski kini juga sudah cukup samar, tapi masih ada di sana.
Dan maka tak terlalu berlebihan kiranya bila wacana desa menjadi sentral ekonomi negara kita di masa depan patut untuk kita pertimbangkan lagi.
“Kenapa negara tak membuatnya menjadi mungkin?”
Bukan hanya jarum, peniti dan bahkan HP akan dapat kita produksi dengan biaya murah, kita harus menjadi satu diantara sedikit negara super power di dunia pada 2045 saat peringatan 100 tahun Indonesia merdeka.
Dan itu baru tak menemukan kata mustahil manakala kita bersatu. Semua ada dan tersedia bagi potensi tersebut. Yang kita belum punya adalah satu rasa dalam luhur budaya kita, gotong royong. Itu adalah milik kita yang terlupakan.
Sumber: budayawan Yogya Bgl. (Netti)