Ad

“Jika Pilkada Ibarat Pertarungan Ongkos, Jadi Bupati Rp 30 M, Gubernur Rp100 M, KAKI; Apa Langkah KPK

JAKARTA – Sebelumnya Alexander Marwata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal. Marwata juga mengetahui ongkos politik yang dikeluarkan para calon pejabat publik di berbagai level. Menurutnya dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi Bupati sebesar Rp 20-30 miliar. Sedangkan untuk Gubernur, harus memiliki dana Rp100 miliar.

“KPK sangat menyadari biaya politik di negeri ini mahal, menjadi anggota DPR, DPRD, kepala daerah tidak ada yang gratis. Kami telah melakukan survei, dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar Rp20-30 miliar. Untuk gubernur, harus memiliki dana Rp100 miliar,” kata Marwata, Kamis (30/6/2022).

Dikatakan Marwata saat memberi sambutan dalam pembekalan antikorupsi kepada Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang (OSO) beserta 54 pengurus Partai Hanura dalam program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Terpadu 2022 di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta.

Pihak KPK juga menyadari para calon pejabat publik itu memiliki sponsor untuk bisa mendapatkan ongkos politik. Hal itupun disadari oleh Marwata sponsor itu tidak gratis.

Misalnya, kata dia, perusahaan kontraktor menyumbang sang calon saat maju dalam pilkada. Ketika sang calon tersebut terpilih maka akan ditagih “Jatah proyek” di pemerintahannya.

“Kalau calon yang dijagokan menang, perusahaan penyumbang tersebut bakal dapat tender dalam proyek kebijakannya dan pasti akan diloloskan. Yang seperti ini akan runyam karena sudah dipesan di awal, bahkan mulai dari perencanaan proyeknya, kegiatannya, lelangnya, dan harga yang terbentuk juga pasti tidak bener,” ujar Marwata.

Namun Marwata dan KPK ingin para calon pejabat publik ini tetap memegang teguh prinsip antikorupsi. KPK sejauh ini sekadar memberikan pembekalan dan pemahaman soal nilai-nilai integritas serta meneken pakta integritas.,“Pakta Integritas yang telah ditandatangani semoga tidak hanya diatas kertas tetapi betul-betul di implementasikan setiap menduduki jabatan,” kata Marwata.

Lebih lanjut, kata dia, KPK pun akan terus memandu dan memonitor kinerja para pejabat atau penyelenggara negara. Jika patuh dan berkomitmen dan ber integritas pasti tidak akan tersandung korupsi.

Apakah pembekalan dari KPK ini sebanding dengan ongkos politik yang sangat super mahal itu ?

Menanggapi pertanyaan dan pernyataan Alexander Mawarta Wakil Ketua KPK, Moh Hosen Aktivis KAKI menyarankan agar KPK membelenggu Bupati atau Gubernur maupun legislator yang sudah melakukan kecurangan dalam pemilu, karena persoalan tersebut sudah merusak marwah dan martabat demokrasi politik Indonesia.

Namun jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berani bicara di media sosial atau dilayar kaca, itu samahalnya KPK sudah tidak bertaring dalam bertarung memberantas Kebijaksalahan yang dilakukan para penghianat politik birokrasi.

Diyakini pada pemilukada 2024 mendatang ongkos-ongkos politik pasti sudah dipersiapkan oleh badan tidak bertanggung jawab. Biasanya pengondisian berada di dua birokrasi yaitu KPU dan Bawaslu.

Sebenarnya persoalan money politik sudah tidak asing lagi di negara Indonesia tercinta ini. Namun kenapa para penegak hukum hanya diam saja, bahkan saat ada temuan Pungutan liar dalam artian jual beli suara oleh oknum Komisioner KPU hanya di dilarikan ke Etik bukan ke pidana.

“Lanjut Hosen, saya pernah melaporkan salah satu oknum Komisioner KPUD kabupaten Bangkalan terkait pungli jual suara caleg provinsi jatim 2019, setelah dikoordinasikan dengan Bawaslu provinsi jawa timur yang waktu itu ditangani bagian Penindakan hukum (Ikhwan) hanya dianggap Pelanggaran etik bukan pidana.

Padahal menurut majlis hakim waktu dalam persidangan menyatakan, ini sudah mengarah pada tindak pidana bukan pelanggaran etik kepegawaian, kenapa isi berkas pelaporan berubah menjadi Pelanggaran etik.

“Paska dari itu, kami menilai kinerja KPU dan Bawaslu tidak menghargai undang-undang Tindak pidana politik uang yang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara.

Persoalan-persoalan seperti ini, tetap kami soroti dan kami laporkan kepihak berwajib, agar penyimpangan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat negara tidak merajalela.

Dan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mampu menangani persoalan penghianat negara, kami tindaklanjuti ke Bareskrim Mabes polri dan Jaksa Agung republik Indonesia.

“Karena manakala Pelanggaran dibiarkan, mau jadi apa negara Indonesia ini, dalam artian jika Kursi Kehormatan di negara Indonesia diduduki oleh para politisi pecundang birokrasi politik, pastinya akan mencetak generasi korupsi,” Tegasnya pada media. (MH-RED)

Baca Lainya :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Postigan Populer

spot_img