JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terkait judicial review Undang-Undang Pilkada yang diajukan Dewi Nadya Maharani dan empat orang lainnya. Mereka menguji dua pasal di UU itu terkait pengisian penjabat kepala daerah.
Pasal yang diuji adalah Pasal 201 ayat (10) UU Nomor 10/2016 yang menyatakan “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 201 ayat (11), “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurutnya, pasal di UU Pilkada itu bertentangan dengan sejumlah pasal di UUD 1945. Yaitu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Lalu Pasal 18 ayat (4) yaitu “(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” bunyi putusan MK yang dikaji Hosnews.id dari website mkri.id, Kamis (21/04/2022).
Menurut MK, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016.
Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan (vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016).
Lebih lanjut, MK memberikan sejumlah panduan untuk menunjuk penjabat kepala daerah merujuk UU 5/2014 tentang ASN yang menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014].
MK menyebut, jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. ‘Jabatan di luar kepolisian’ dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014].
Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014].
Mengenal Anwar Usman, Hakim Konstitusi Taklukan Hati Idayati Adik Jokowi
Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014].
“Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah,” tulis MK.
Kemudian, Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu, 1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen.
2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak nerpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik.
Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara.
Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang.
“Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024,” urai MK. ( Redaksi )